Terdakwa kasus gratifikasi
penetapan kuota impor sapi dan pencucian uang, Ahmad Fathanah, dijatuhi hukuman
penjara 14 tahun serta denda Rp1 miliar oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Senin (04/11).
Wartawan BBC Indonesia, Arti
Ekawati, yang berada di gedung Pengadilan Tipikor melaporkan bahwa lima anggota
Majelis Hakim sepakat bahwa Fathanah bersalah dalam kasus gratifikasi namun
dalam tuduhan pencucian uang ada opini berbeda (dissenting opinion) dari
dua hakim dalam perkara pencucian uang.
Menurut kedua hakim tersebut,
kasus pencucian uang seharusnya diperiksa oleh kejaksaan dan kemudian
dilimpahkan ke pengadilan tinggi, bukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
lalu ke pengadilan Tipikor. Sedangkan dalam kasus Fathanah, KPK sudah menangani
kasus ini dari awal. "Menjatuhkan hukuman 14 tahun dan denda sebesar Rp1
miliar. Apabila tidak dibayar diganti pidana 6 bulan," kata Ketua Majelis
Hakim Nawawi Pomolango. Majelis hakim mengatakan terdakwa terbukti melakukan
korupsi dan bersama-sama melakukan tindak pencucian uang, Sidang yang menurut
jadwal seharusnya dimulai pada pukul 14:00 WIB diundur hingga pukul 16:40 WIB,
dengan alasan menunggu kelengkapan seluruh anggota majelis, Dalam sidang
sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut
terdakwa dijatuhi vonis 7,5 tahun dan denda Rp500 juta untuk dugaan
suap pengurusan kuota impor daging sapi, Sedangkan untuk dugaan tindak pidana
pencucian uang, ia dituntut 10 tahun penjara serta Rp1 miliar. Ahmad Fathanah
atau juga dikenal sebagai Olong Ahmad ditangkap KPK pada 29 Januari 2013. Pria
yang kemudian diketahui dekat dengan tokoh-tokoh Partai keadilan Sejahtera ini
dituduh menerima gratifikasi sebesar 1,3 miliar rupiah dari bos PT Indoguna.
Uang
itu disebut akan diberikan kepada Presiden PKS saat itu, Lutfi Hasan Ishak,
untuk memuluskan pengurusan penetapan kuota impor daging sapi dari kementerian
pertanian.
Opini dari kasus pelanggaran :
Pada kasus gratifikasi penetapan kuota impor sapi dan pencucian uang adalah Ahmad
Fathanah. Fathanah digunakan oleh pihak ketiga jadi ketika kasus terungkap ia
bisa diputus hanya ke pihak broker, direktur riset dari Charta Politica,
Yunarto Wijaya, mengatakan kasus Fathanah adalah contoh metode suap yang
menggunakan pihak ketiga untuk mengaburkan kaitan dengan entitas politik
tertentu. Fathanah selalu menegaskan ia bukanlah simpatisan atau kader PKS."Fathanah digunakan oleh pihak ketiga, jadi ketika kasus terungkap dia bisa diputus hanya sampai ke pihak broker," kata Yunarto.
Namun, KPK menurutnya memiliki perangkat untuk mendeteksi pola-pola ini.
"Fathanah tak bisa berbohong karena rekaman-rekaman percakapan di telepon didapat KPK, termasuk hubungan dekatnya dengan Luthfi Hasan Ishak yang banyak bicara soal bisnis," tambah Yunarto.
Penangkapan Fathanah oleh KPK pada Januari 2013 mendapat perhatian besar dari publik. Apalagi penangkapan itu disusul dengan pengumuman KPK yang menetapkan status tersangka terhadap Luthfi Hasan Ishak yang berujung pengunduran diri sang ketua partai. "PKS kuat memposisikan diri sebagai partai agama dengan tagline bersih dan peduli. Ini ledakan besar bagi brand image PKS, sebagai partai agama dan dalam konteks partai di hadapan critical voters karena tagline bersih dan peduli ternyata hanya slogan kosong bahkan bohong," kata dia.