Secara
umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain
istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free
Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a
Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis
yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank
Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah”.
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain
istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free
Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a
Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis
yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank
Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah”.
Undang-undang
Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10
Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan makalah ini disingkat UUPI),
membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana
disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian
prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan makalah ini disingkat UUPI),
membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana
disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian
prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
Fungsi
Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank
konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam
bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis
keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang
dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari
pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai
imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit
margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari
mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah
dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank
Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance
dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar
transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta
sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank
Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli),
ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam
bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis
keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang
dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari
pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai
imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit
margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari
mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah
dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank
Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance
dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar
transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta
sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank
Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli),
ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Ada
beberapa faktor mengapa perbankan syariah berkembang. Pertama, produk bank
syariah memiliki keunggulan, misalnya penyimpan maupun peminjam terhindar dari
risiko fluktuasi suku bunga sehingga memudahkan perencanaan usaha. Kedua,
produk bank syariah cukup variatif yang tidak bisa dilaksanakan di bank
konvensional misalnya sistem gadai atau raihan, mudharabah muqayyadah di mana
pemilik dana bisa menunjuk peminjam dan di bidang apa bisa dan tidak bisa
diinvestasikan, juga ijarah muntahya bi al tamlik atau sewa dengan hak untuk
memiliki barang di akhir sewa atau hak untuk membeli barang yang telah disewa. Namun,
bank syariah juga memiliki hambatan. Pertama, tidak mudah bagi bank syariah
untuk mengeluarkan produk baru karena pertimbangan subhat atau meragukan
hukumnya yang merupakan grey area dalam penilaian Dewan Syariah. Kedua, jika
dana berlebih, hukum syariat melarang bank menyimpannya di SBI. Namun, bisa
disimpan di giro wadiah BI yang bagi hasilnya lebih kecil daripada suku bunga
SBI. Ketiga, bank syariah terkena pajak untuk transaksi murabahah karena
dianggap sebagai produk perdagangan dan bukan hanya produk bank. Agar bisa
berkembang, bank syariah harus membuktikan keunggulanya berdasarkan manfaat,
baik bagi masyarakat umum maupun dunia bisnis. Kini investor non-Muslim banyak
yang tertarik untuk berinvestasi di bank syariah. Demikian pula nasabah rasional
sudah melebihi 50 persen dari seluruh nasabah, jadi sudah diterima pasar.
Pada
dasarnya ketiga fungsi utama perbankan adalah boleh dilakukan, kecuali bila
dalam melaksanakan fungsinya perbankan melakukan hal-hal yang dilarang syariah.
Nah, dalam praktek perbankan konvensional yang dikenal saat ini, fungsi
tersebut dilakukan berdasarkan sistem bunga. Bank konvensional tidak serta
merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktek bank konvensional dapat
digolongkan sebagai transaksi ribawi.
Dari
definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat
diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl
dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan
secara tunai. Riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan
pembayaran bunga tabungan / deposito / giro.
Riba
jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh
tagihannya. Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa
kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip
syariah. Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah :
1.
Transaksi yang tidak mengandung riba.
2.
Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli
(murabahah).
3. Transaksi
yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah)
4.
Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil
(mudharabah)
5.
Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil
(mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).
Dalam ilmu
fiqh dikenal tiga jenis riba yaitu: a. Riba Fadl Riba Fadl disebut juga riba
buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi
kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi
sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini
mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai
masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan
zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh
berikut ini akan memperjelas adanya gharar. Ketika kaum Yahudi kalah dalam
perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah),
termasuk diantaranya adalah perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu
saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum muslimin yang sederhana. Oleh
karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas
tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang terbuat dari emas (dinar) dan uang
yang terbuat dari perak (dirham). Jadi se-benarnya yang akan terjadi bukanlah
jual beli, namun pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas,
perak ditukar dengan perak . Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40
dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua
atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih
tinggi dari sekedar 2-3 dirham. Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai
perhiasan perakdan nilai uang perak (dirham). Mendengar hal tersebut Rasulullah
SAW mencegahnya dan bersabda: “Dari Abu Said al-Khdri ra, Rasul SAW bersabda :
Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan
ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama
takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba;
tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan
(tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama
takaran,timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam
dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya
adalah riba.” (Riwayat Muslim) Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan
asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasul SAW bersabda:
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua
dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba
(al-rama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar