Senin, 24 Oktober 2011

Muhammad Yunus, Sang Pengentas Kemiskinan

Muhammad Yunus peraih Nobel bidang Ekonomi dari Bangladesh, merupakan kisah tentang seseorang yang tulus memberantas kemiskinan. Muhammad Yunus lahir pada tahun 1940 di Chittagong, ia merupakan seorang banker yang mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu pengembangan pijaman skala akecil untuk warga yang kurang mampu. Hal ini berawal ketika Muhammad Yunus ingin menolong seorang ibu untuk mengentaskannya dari kemiskinan, hal itu berangkat dari keprihatinan saat melihat kenyataan dinegaranya dimana terdapat begitu banyak orang miskin yang terancam kelaparan. Saat itu, ia berpikir, untuk melakukan sesuatu yang dapat ia kerjakan sebagai sesama manusia guna mencegah kematian, walaupun hanya menyangkut satu orang saja.
 Ternyata, dari satu orang ibu, lama kelamaan semakin banyak ibu yang dibiayai oleh Yunus dari hasil meminjam uang di bank kampus tempat ia mengajar. Ia mampu meyakinkan pihak bank, bahwa orang-orang desa bakal sanggup mengembalikan uang yang dipinjamnya. Dan ternyata benar, dari satu orang yang dibiayai Yunus, berkat kegigihan mendampingi dan membantu mereka, jumlah itu terus berkembang menjadi ratusan orang. Kemudian, dari satu desa berkembang menjadi ratusan desa. Itulah cikal bakal bank yang sekitar 25 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Oktober 1983, menjadi sebuah bank resmi yang independen yang diberi nama Grameen Bank, yakni sebuah organisasi unik yang didirikan dengan tujuan utama menyalurkan kredit mikro bagi kaum miskin di negaranya. 
Sejak resmi menjadi bank, dengan filosofi yang terus dipegangnya, yakni tidak memberikan melainkan memberi pancing kepada kaum papa untuk mencarikan sendiri, Grameen Bank terus berkembang. Pada sekitar tahun 2003, kelahiran Chittagong 28 Juni 1940 ini kemudian juga mengembangkan sebuah program untuk mengentaskan kehidupan pengemis dengan program “The Struggling Members Program”. Melalui program itu, sekitar 47 ribu lebih pengemis di Bangladesh telah terbantu. Dan berkat program itu, kini ribuan pengemis di sana sudah mampu mandiri dengan menjadi pengusaha kecil, tanpa meminta-minta lagi. Puluhan ribu desa di Bangladesh kini juga sudah dirambah Grameen Bank. Dan, dengan ribuan pegawai, ditambah berbagai program yang langsung memberi dampak pada masyarakat bawah, bank itu telah berkembang dan bahkan mampu memberikan pinjaman hingga miliaran dolar Amerika.
Dari perasaan bersalah itu, laki-laki kelahiran Chittagong tahun 1940 itu mulai mengembangkan konsep pemberdayaan kaum papa. Filosofi yang dia bangun adalah bagaimana membantu kaum miskin agar bisa mengangkat derajat mereka sendiri. Dia tidak ingin memberi ikan, melainkan memberi pancing kepada kaum papa untuk mencari ikan sendiri. Dua tahun kemudian, Yunus mulai mengembangkan program kredit mikro tanpa agunan untuk kaum papa yang tidak dapat mengakses pinjaman bank. Program ini menjadi semacam gugatan Yunus terhadap ketidakadilan dunia terhadap kaum miskin. "Mengapa lembaga keuangan selalu menolak orang miskin? Mengapa informasi teknologi menjadi hak eksklusif orang kaya," tuturnya. Untuk menjalankan program itu, awalnya Yunus merogoh koceknya sendiri sebesar 27 dollar AS. Uang itu digunakannya guna membantu modal bagi ibu-ibu pembuat keranjang bambu. Saat itu, dia begitu yakin bahwa jika orang miskin diberi akses kredit seperti yang diberikan kepada orang kaya, mereka pasti bisa mengelolanya dengan baik. "Berikan itu (kredit) kepada orang miskin, mereka akan bisa mengurus dirinya," katanya. Keyakinan Yunus tidak meleset. Program kredit mikro yang digulirkannya terus berkembang. Jutaan orang miskin pun bisa keluar dari jerat lintah darat setelah diberi kredit mikro.
Tahun 1983, Yunus mentransformasi lembaga kreditnya menjadi sebuah bank formal dengan aturan khusus bernama Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali. Kini, bank ini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Hebatnya lagi, modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi peminjamnya. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan. Kalau sudah begini, gerakan Yunus tidak lagi bisa dipandang sebagai gerakan ekonomi semata, tetapi menjadi gerakan politik dan sosial berdimensi jender yang dilakukan kaum papa. Meski demikian, dia menegaskan bahwa gerakannya bukanlah genderang perang yang ditabuh kepada kaum kaya. "Ini hanyalah gerakan untuk membantu orang miskin. Saya tidak peduli jika orang kaya bertambah kaya. Itu sama sekali tidak mengganggu saya. Kalau ada beberapa Bill Gates di negara ini, saya tidak peduli," katanya. "Saya hanya khawatir dengan orang miskin yang bertambah miskin atau tidak punya kesempatan menjadi kaya. Meningkatkan derajat kaum papa itu yang paling penting," tambahnya. Gerakan pemberdayaan kaum papa yang diprakarsai Muhammad Yunus kini diadopsi oleh lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat miskin di seluruh dunia. Bahkan, Bank Dunia yang sebelumnya memandang program ini secara sebelah mata kini mengadopsi gagasan kredit mikro. Sekarang, tinggal satu impian sang bankir kaum papa yang belum sepenuhnya terwujud, yakni menghapus kemiskinan di seluruh dunia. Banyak negara berkembang di dunia dengan ciri khas puluhan juta rakyatnya hidup miskin. Indonesia pun termasuk di dalamnya. Negara-negara berkembang itu harusnya malu, demikian pula Indonesia, terutama kepada peraih hadiah Nobel Perdamaian 2006. Lebih malu lagi adalah Indonesia. Mengapa? Kita sudah lama dicekoki dengan berita kemiskinan. Ini adalah akumulasi dari kesalahan fokus pembangunan sejak 1945. Akhir-akhir ini kita dicekoki berbagai penyakit terkait malnutrisi, sekelompok penduduk yang makan tak sesuai standar. Rakyat kita seperti mati di lumbung padi. Indonesia adalah salah satu anggota OPEC, organisasi pengekspor minyak dengan kondisi warganya yang relatif mampu buah dari pembangunan berbasis migas. Tapi, Indonesia tidak demikian halnya. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu sorotan Program Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB. Dari 1,2 miliar penduduk miskin di dunia, sepertiga ada di Asia. Setelah China dan India, Indonesia adalah lokasi utama warga miskin dunia itu. Indonesia harus lebih malu lagi, karena selain punya minyak, Indonesia juga punya gas, batu bara, dan berbagai sumber energi lain seperti tenaga uap dan air. Tetapi apa yang terjadi? Rakyat harus menanggung kenaikan BBM. Ada lagi, rakyat harus menahan sesak di dada karena dalam beberapa tahun terakhir justru dijejali dengan persoalan pemadaman. Konyol dan Ironis memang. Listrik bukan hanya untuk menerangi kita saat gelap. Listrik adalah salah satu penggerak ekonomi. Penggerak itu pun padam, kadang-kadang, untuk tidak mengatakan sering terjadi. Ada lagi alasan lain bagi Indonesia untuk malu. Masih ingat dengan program orde baru kredit Bimas (Bimbingan Masal)? Sudah di mana program kredit yang bertujuan membangkitkan ekonomi rakyat pedesaan itu. Ada lagi koperasi unit desa (KUD), yakni sebuah lembaga yang juga memberi perhatian pada pemberian kredit mikro ke pedesaan. Di mana itu semua program-program KUD? Jangan-jangan kita sudah lupa dengan istilah KUD. Ada lagi, pada awal dekade 1990-an, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia meluncurkan salah satu paket bernama kredit usaha kecil (KUK). Dalam program itu, disebutkan bahwa dari total kredit yang disalurkan bank, sebesar 20 persen harus disalurkan ke kredit mikro.
Akan tetapi, fakta empiris menunjukkan, persentase kredit untuk KUK tidak pernah mencapai minimal 20 persen. Selalu ada alasan perbankan untuk memberi argumentasi soal kegagalan KUK itu. Penerima kredit tidak memiliki jaminan, tidak tahu pembukuan, dan tidak terjangkau oleh bank karena orang-orangnya terpencar. Grameen Bank, badan penerima Nobel Perdamaian 2006, secara implisit memperlihatkan bahwa alasan perbankan itu tidak lebih dari sebuah alasan untuk menghindar. Dalam hal kredit, Indonesia ini tergolong off- track. Alirannya mengucur ke properti, kelas atas lagi. Kita lupa, sebagian besar rakyat hidup dalam kenestapaan, kesengsaraan. Ironisnya, perbankan kita justru bukan tergolong sebagai industri perbankan yang paling solid sedunia. Hingga kini perbankan Indonesia dijejali masalah kekurangan modal, kredit macet. Itu tak lain karena kebijakan pengucuran kreditnya. Inilah permasalahan utama di Indonesia yang harus diatasi jika kita ingin benar-benar menjadi bangsa yang berjaya, punya status, dan dihargai dunia. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Tak lain adalah agar semua pihak kembali ke khitah. Kembali memikirkan program-program politik, ekonomi, yang tujuannya adalah memberdayakan rakyat. Tanpa itu semua, tak akan ada kewibawaan pemerintahan, elite-elite politik di mata rakyatnya. Yang ada hanyalah sikap rakyat yang sudah pasrah, tak peduli, dan tak tahu mengadu ke mana.
Kisah Muhammad Yunus adalah sebuah bukti bahwa ketulusan yang disertai pengabdian akan memberikan hasil yang luar biasa. Muhammad Yunus yang awalnya hanya seorang dosen yang ingin membantu seorang ibu dari keterpurukan, kini telah mampu memberi sesuatu yang jauh melebihi apa yang dibayangkannya, mengentaskan kemiskinan di negerinya dan mendapat penghargaan prestisius Nobel Perdamaian 2006. 
Apa yang bisa kita petik dari kisah Muhammad Yunus ini? Mulailah segala sesuatu dari yang sederhana, dari yang kecil, dari apa yang kita bisa. Asal dapat memberi manfaat bagi orang lain, dampaknya akan terus menular dan berkembang menjadi kebaikan yang akan terus menjadi besar. Muhammad Yunus adalah contoh nyata dan teladan pribadi yang luar biasa. Dia dapat memanfaatkan ilmu yang dimiliki, empati, serta cintanya yang besar terhadap kehidupan untuk menjawab kebutuhan banyak orang di sekelilingnya dengan solusi sederhana pada awalnya.
Adapun penghargaan internasional yang pernah diterimanya adalah Penghargaan Ramon Magsaysay (1984), Penghargaan Aga Khan untuk bidang arsitektur (1989), Penghargaan Mohamed Shabdeen untuk bidang ilmu pengetahuan (1993), dan Penghargaan "World Food" dari Lembaga Pangan Dunia (FAO) tahun 1994.

Sedangkan penghargaan nasional yang pernah diterimanya adalah penghargaan dari Presiden Bangladesh (1978), Central Bank Award (1985), dan Penghargaan Hari Kemerdekaan (1987), yang merupakan penghargaan tertinggi di Bangladesh.








Sumber : Budi Suwarna dan Simon Saragih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar